Beberapa waktu yang lalu saya mengantar laptop rusak ke seorang sahabat pemilik warnet sekaligus tempat pelatihan komputer. Mungkin sudah sekitar 2 bulan sejak terakhir saya berkunjung ke ruko lantai 3 tempat dia membuka usahanya. Berhubung sore itu suasana agak mendung, akhirnya baru sekitar jam 7.30 malam saya berangkat dari rumah.
Sesampai di lokasi, terlihat suasana warnet yang agak sepi. Mungkin pengaruh cuaca, pikir saya. Saya pun naik ke lantai 2 yang dijadikan kantor sekaligus workshop. Di situ ybs sedang duduk mengoprek sebuah komputer.
Setelah saling menyapa, saya serahkan laptop saya untuk diperiksa. Walhasil diagnosanya vga rusak! Huaduh… lumayan tuh ongkosnya. Ya sudahlah, memang sudah waktunya, pikir saya.
Sambil dibuatkan tanda terima, iseng saya tanya kondisi salah satu stafnya yang mengalami patah tulang akibat kecelakaan di jalan raya. Spontan wajahnya berubah.
“Saya bingung, kurang lebih sudah 3 bulan dia tidak masuk. Tapi dia juga tidak mau masuk rumah sakit dan memilih memakai alternatif. Akhirnya si penabrak yang tadinya berniat mengganti biaya rumah sakit menjadi urung mengganti. Sampai saat ini saya masih menggaji staf tersebut. Kalau di perusahaan bapak bagaimana ya?”
Saya pun menjelaskan. Sesuai dengan aturan ketenagakerjaan, karyawan yang sakit berkepanjangan tidak boleh langsung di PHK.
Ada aturannya. Untuk 4 bulan pertama tetap digaji 100%. Bila masih sakit, 4 bulan kedua digaji 75%. 4 bulan terakhir digaji 50%. Dan jika masih sakit, barulah bisa di PHK. Itupun diberikan pesangon 1x PMTK (Penghargaan masa kerja).
“Tapi dulu karyawan saudara saya waktu kena kecelakaan langsung di PHK, tanpa pesangon pula” jawabnya. Saya pun hanya bisa mengelus dada.
Inilah kendala UKM pada umumnya. Tanpa adanya peraturan perusahaan yang jelas, tanpa standar kompetensi dari tiap jabatan di perusahaan, akhirnya proses penerimaan karyawan, pembinaan dan pemberhentiannya dilakukan semaunya si pemilik.
Inilah sebetulnya hal yang perlu diimprove di perusahaan kita. Setidaknya kalau kita memiliki peraturan perusahaan dalam bentuk tertulis, kita bisa membatasi sejauh mana tanggung jawab kita terhadap biaya medikal karyawan misalnya. Di dalamnya dapat pula kita masukkan kriteria-kriteria perbuatan yang dianggap pelanggaran, baik ringan maupun berat. Selain berguna bagi perusahaan, berguna juga bagi karyawan untuk mengetahui sejauh mana hak dan kewajiban yang dimilikinya.
Tetapi bila perusahaan sudah membuat peraturan perusahaan, tentunya manajemen pun tidak bisa semaunya sendiri. Harus ada komitmen untuk melaksanakan aturan dalam peraturan tersebut. Misalnya tentang kerja lembur. Bukan waktunya lagi mengharapkan karyawan mau datang pagi, pulang malam hanya berdasarkan loyalitas. Kalau memang lemburnya atas permintaan kita, maka sudah selayaknya kita berikan upah lembur sebagaimana sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan.
Setelah ngobrol lebih lanjut, teman saya juga mengeluhkan tingginya turn over karyawan di perusahaannya. Cuma berhubung jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, terpaksa saya pamit karena besok masih harus ngantor. Untuk masalah yang satu ini akan saya sharing next time.
Recent Comments