Pages

Categories

Mindset Karyawan

Di pabrik kami ada seorang yang terhitung senior. Sebut saja Pak Joko namanya. Beliau sudah bekerja puluhan tahun di pabrik ini dan merasakan pahit getirnya bekerja disini. Mulai dari tutup pabrik tahun 1998 akibat kerusuhan, bekerja lagi di tahun-tahun berikutnya, sampai perubahan kepemilikan dan sistem manajemen 3 tahun yang lalu.

Usia Pak Joko sudah tidak bisa dibilang muda. Sekarang masuk umur ke 53. Artinya sudah masuk usia persiapan pensiun. Tapi sampai sekarang dia masih giat bekerja. Selain bekerja sendirian, hingga saat ini memang tidak ada orang yang bisa mengganti posisinya.

Pak Joko adalah seorang teknisi forklift yang handal. Selama ini perawatan seluruh forklift di pabrik diserahkan kepada beliau. Bisa dibilang posisinya memang tidak tergantikan. Beliau memahami kondisi ini dan sempat mengutarakan harapannya agar anaknya yang baru saja lulus STM dapat diterima bekerja di pabrik ini agar dapat dipersiapkan sebagai penggantinya kelak.

Sayangnya, dengan kemampuan yang dimilikinya, ia hanya mendapat upah sedikit lebih besar dibanding upah minimum yang berlaku saat ini. Sesuai dengan standar upah level operator.

Di sisi yang lain, saya kenal seorang operator wanita di pabrik tempat saya kerja terdahulu. Usianya juga sudah uzur. Dia bilang, dia sudah bekerja di pabrik ini sejak masih gadis. Satu-satunya skill yang dia punya adalah keahlian mengambil bohlam panas dengan tangannya langsung. Ya, bohlam panas diambil langsung dengan telapak tangan. Akibatnya telapak tangannya sekarang sudah mati rasa. Pihak pabrik sendiri sebetulnya sudah menyiapkan sarung tangan. Tetapi buat si ibu, sarung tangan justru menghalangi pekerjaannya dan dia memilih untuk tidak memakainya.

Skill ibu ini jelas tidak akan bisa dipakai di luar pabrik tempat ia bekerja. Efeknya pun jelas saat ia pensiun nanti. Berhenti bekerja tanpa skill dan penghasilan. Sedangkan dalam kasus Pak Joko, ia masih memiliki skill yang bisa dijual. Mungkin setelah pensiun dia bisa buka bengkel kecil-kecilan. Well… itu kalau dia mau.

“Kalau anda lahir dalam kondisi miskin, itu bukan salah anda. Namun jika anda mati dalam kondisi miskin, itu jelas salah anda sendiri”.

Saya tidak yakin milik siapa quotes di atas. Berdasarkan hasil googling ada yang bilang milik Bill Gates, ada yang bilang milik Donald Trump. Ya udahlah… milik siapa aja boleh…

Point yang ingin saya ambil adalah bahwa dalam cerita dua tokoh di atas, keduanya memilih untuk menjadi karyawan level operator sampai di usia senja mereka. Beberapa kali saya pernah bertanya kepada orang-orang seperti mereka “Kenapa ngga buka usaha aja?”. Jawabannya hampir 90% sama… ngga punya modal.

Saya bertanya-tanya, kalau mereka punya modal, apakah mereka akan membuka usaha? Rasanya tidak juga. Jangan-jangan malah memilih ngutang motor baru. Karena tidak punya modal sebetulnya hanya alasan saja. Masalahnya ada di mindset.

Ada operator pabrik yang bawa motor Kawasaki Ninja baru. Ada satpam pabrik yang bawa motor Scorpion baru. Bahkan ada staf, secara level juga masih kategori operator, datang ke pabrik bawa Honda City yang masih kinclong. Denger-denger sih mobil second, tapi kan tetap aja cicilan bulanannya merongrong.

Bayangkan kalau cicilannya dipergunakan untuk modal usaha, lumayan tuh.

Menjadi karyawan sebenarnya sama saja dengan membatasi diri sendiri. Membatasi waktu, membatasi penghasilan, membatasi kreatifitas. Seperti jangkrik yang lama dipelihara di kotak korek api. Suatu saat ketika ia dilepas, ia hanya akan melompat setinggi kotak korek api. Itu karena dirinya sudah terbiasa dengan kehidupan di dalam kotak korek api, dan akhirnya menjadi takut untuk melompat lebih tinggi walaupun sebetulnya dia bisa.

Terus bagaimana caranya untuk bisa mengatasi rasa takut itu?

Menurut saya ada 2 kunci utama. Kunci yang pertama adalah alasan yang kuat. Kita perlu menemukan alasan yang kuat, begitu kuatnya sehingga kita takut akibatnya jika tidak bisa memenuhinya. Begitu kuatnya sehingga ketakutan akan hal yang lain terlihat sepele. Contohnya, “Bila saya tidak menjadi kaya dan sukses, saya tidak bisa menghajikan orang tua saya, sedangkan usia mereka sudah tua”. Maka dengan demikian kita akan berjuang sekuat tenaga untuk mencapai tujuan itu, karena takut orang tua kita akan lebih dulu tutup usia sebelum harapan ini tercapai.

“Kalau why-nya kuat, how-nya menjadi mudah”.

Kunci yang kedua adalah pembiasaan. Kita bisa karena biasa. Kita takut karena kita tidak biasa. Maka kita perlu kalahkan kebiasaan lama dengan membuat kebiasaan baru. Kebiasaan baru yang didukung dengan alasan yang kuat tadi.

Contoh konkrit dari dua kunci tersebut adalah apa yang dilakukan oleh Merry Riana. Kunci pertamanya adalah orang tuanya. Dia ingin membahagiakan mereka berdua, membawa mereka jalan-jalan keluar negeri sebelum bertambah tua. Maka dia melakukan kunci yang kedua yaitu konsisten membangun kebiasaan baru yang sebelumnya belum pernah dia lakukan, yaitu menawarkan asuransi kepada 20 orang setiap hari. Dia begitu takut kunci pertama tidak bisa dia penuhi sehingga kunci kedua dia lakukan dengan sungguh-sungguh. Hasilnya bisa kita saksikan bersama sekarang.

Menjadi karyawan sebetulnya boleh-boleh saja asal disertai dengan strategi jangka panjang, misalnya ‘saya menjadi karyawan saat ini untuk mengambil ilmu yang saya butuhkan. Saat usia saya 30 tahun, saya akan resign dan membuat usaha saya sendiri’. Tetapi bila menjadi karyawan tanpa target, mengalir seperti air… percayalah, tanpa anda sadari tiba-tiba anda sudah masuk masa pensiun.

Jadi, singkirkan mindset karyawan mulai saat ini. Cari alasan kuat anda dan susun daftar kebiasaan yang harus anda lakukan agar alasan kuat anda dapat tercapai. Jangan menunda lagi, atau kesuksesan anda pun akan tertunda. Mari menjadi mandiri mulai dari sekarang, mulai dari diri sendiri.

Salam Mulia Mandiri.

Leave a Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *