Pertama kali bertemu dengan Pak Fathi Bawazier adalah saat momen Wanna Be Trainer atau disingkat WBT, Batch yang ke 10. Kebetulan beliau ada di kelompok yang berbeda dengan kelompok saya.
Saat itu tidak terasa ada sesuatu yang istimewa dari diri beliau. Kecuali memang untuk kumisnya yang mengingatkan saya pada tokoh Pak Raden… 🙂
Barulah saat Pak Fathi terpilih untuk maju ke atas panggung membawakan materinya, terkuak bahwa bapak yang satu ini ternyata kaya akan pengalaman hidup. Intronya pun asik. Saya lupa kalimat persisnya yang diucapkan saat itu, tetapi kalau tidak salah dia membuka materi dengan mengutarakan bahwa dengan kekuatan keyakinan, dia bisa berangkat ke Amerika dan kuliah di sana. Lalu dia bertanya pada semua audiens, “ada yang mau mendengar cerita saya?”. Serentak semuanya menjawab “Mauu…”
Lalu beliau pun memulai ceritanya. Bagaimana dia melakukan persiapan untuk berangkat, tanpa ada kenalan 1 orang pun di sana. Tadinya dia berencana untuk berangkat bersama seorang teman. Tetapi mendekati hari H, sang teman mengundurkan diri karena khawatir dengan kondisi nanti di tujuan. Akhirnya Pak Fathi malah berangkat dengan salah seorang familinya, tanpa direncanakan.
Di atas panggung Pak Fathi menceritakan kisah hidupnya di Amerika. Tetapi berhubung waktunya dibatasi oleh panitia, maka cerita yang keluar pun tidak maksimal. Cerita kisah hidup yang luar biasa, dibawakan hanya dalam 5 menit. Jelas tidak cukup. Akhirnya, setelah diberi kode oleh panitia, Pak Fathi pun turun panggung dengan cerita yang menggantung.
Waktu itu saya pikir tidak akan ada lagi kesempatan mendengarkan lanjutan ceritanya. Tetapi ternyata kesempatan itu datang lagi di acara reuni WBT 10 hari Minggu yang lalu.
Di acara reuni, Pak Fathi memang sudah didaulat menjadi salah seorang nara sumber. Materi yang akan dishare sebetulnya lebih ke arah pengalaman di Trainer Bootcamp & Contest atau TBnC yang dia ikuti bersama Tony Yansen, alumnus WBT 10 juga yang akhirnya menjadi juara. Tetapi ternyata sebagian cuplikan kisah hidupnya juga ikut dishare dalam beberapa kesempatan.
Saat itulah pertanyaan yang lama menggantung di pikiran saya terjawab. Kenapa seorang anak muda, berani melanglang buana ke sebuah benua asing, tanpa ada kenalan di sana?
Pak Fathi memang tidak menceritakan seluruh perjalanan hidupnya di reuni. Terlalu panjang lah…, bisa ngga pulang kita semua. Namun kisah tentang awal mula beliau berangkat ke Amerika terungkit kembali.
Kembali ke momen saat temannya membatalkan keikutsertaan menjelang hari H. Pembatalan itu lebih pada kekhawatiran tentang masa depan nanti di Amerika. Mau jadi apa di sana, mau tinggal di mana, bagaimana komunikasi dengan orang tua (jaman itu belum ada handphone), dan macam-macam ketakutan lain. Fathi muda lalu berseru, “Kenapa harus takut? Di sana ada Allah!”.
Mendengar alasan itu, yang juga menjadi jawaban atas pertanyaan saya… terus terang saya merinding.
Tidak pernah terpikir sebelumnya bahwa inilah alasan Fathi muda untuk berangkat ke Amerika. Sebuah alasan yang terdengar klise, tetapi merupakan motivasi terbesar baginya untuk mengalahkan segala bentuk ketakutan yang muncul.
Dengan berbekal keyakinan ini, lembar demi lembar kehidupan dijalaninya di sana. Mulai dari bekerja dengan gaji kecil, menjadi imigran gelap, naik level menjadi manager, kuliah, hingga akhirnya kembali ke negeri ini. Bahkan satu titik tolak perubahan nasibnya terjadi akibat keyakinannya yang tak tergoyahkan untuk berhenti menjadi pengantar pizza, hanya karena pizza yang diantarnya mengandung babi. Namun setelah itu justru karirnya membaik di tempat lain.
Ini adalah sebuah bukti kekuatan keyakinan terhadap bantuan Allah, dimanapun ia berada. Sebuah keyakinan yang kemudian berbuah hadiah yang manis pula dari Sang Pencipta.
Saya merasa perlu belajar banyak pada Pak Fathi untuk masalah keyakinan. Jangankan untuk mengambil keputusan pergi keluar negeri tanpa kenalan, untuk hal-hal yang kecil pun kita (saya) mungkin sering tidak menyertakan Allah. Siapa yang tidak pernah lupa untuk membaca doa sebelum makan? Siapa yang selalu membaca doa sebelum tidur, dan setelah bangun? Siapa yang selalu mohon perlindungan Allah saat masuk WC?
Semua ini adalah hal-hal kecil. Tetapi menjadi besar maknanya karena menunjukkan seberapa besar porsi waktu kita di mana kita mengikutsertakan Allah dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
Tidak ada kata terlambat. Mari kita latih hal-hal kecil ini mulai sekarang. Di manapun kita, coba sertakan Allah bersama kita. Bacalah doa-doa rutin sebelum memulai beraktifitas. Biasakan itu dan mudah-mudahan dengan begitu kita akan selalu ingat kepada Allah. Suatu saat, ketika kita mengambil sebuah keputusan besar kita akan bisa mengatakan hal yang dikatakan Fathi muda dulu… “Kenapa harus takut? Di sana ada Allah!”.
Recent Comments