Berubah menjadi lebih baik

Suatu hari baca tl menarik di tweeter dari @FrankGeovani. Isinya begini: Kalau tidak BERUBAH saya akan KALAH #KotaroMinami.

Hehehe… kalo angkatan saya pasti tidak asing dengan nama Kotaro Minami. Ya, dia si Satria Baja Hitam… (nostalgia sejenak). Musuhnya adalah Gorgom yang dengan rajin dan tekun mengirim monster-monsternya ke Jepang. Kenapa cuma Jepang? Karena orang Jepang kreatif dan punya imajinasi tinggi, sehingga semua monster tertarik belajar ke Jepang… #ngarang.

Singkat cerita, dipertengahan film biasanya om Kotaro kalah. Trus setelah dia berubah secara fisik, dia akan mampu mengeluarkan jurus pamungkasnya sambil berteriak … “tendangan maut”… trus setelah itu musuhnya jatuh dan meledak. Kenapa ditendang bisa meledak? Wallahu a’lam. Hanya Kotaro yang bisa menjawabnya…

Konsep ‘berubah agar tidak kalah’ rupanya merupakan konsep universal. Rasanya semua tokoh jagoan di semua film, mau itu keluaran Amerika, India atau Jepang mengalami proses ini. Malah seringkali cukup ekstrim dengan konsep ‘from zero to hero’. Artinya si jagoan yang tadinya cupu abis, mengalami proses di pertengahan atau ending film, dan mendadak menjadi hero yang keren abis.

Apakah perubahan ini bisa terjadi di real life? Yup, saya bilang bisa. Tentunya bukan berubah jadi superhero ya… tapi berubah untuk menjadi lebih baik. Misalnya ketika bentuk tubuh mulai melar, kita bisa set program untuk berubah menjadi lebih langsing. Atau ketika penyakit kanker (kantong kering) mulai melanda, kita juga bisa berubah untuk mengobati pengakit ini dalam upaya memperoleh penghasilan yang lebih baik.

Sayangnya, konsep yang dipakai kebanyakan orang adalah konsep jagoan tadi. Serba singkat dan serba instant. Kalo jagoan, dalam durasi film 1 jam, cuma perlu belajar dan berubah sekitar 15 menit, langsung punya jurus pamungkas untuk mengalahkan musuhnya. Dalam kehidupan nyata, ngga bisa begitu. Ibarat menanam padi, ada proses menanam, memelihara, baru memanen hasil. Prosesnya harus dilalui semua dan tidak bisa di skip. Kalau satu proses tidak dijalani, tidak ada hasil.

Pemula dalam bisnis biasanya juga terkondisikan seperti ini. Saat baru memulai usahanya dia ingin semuanya sudah lengkap. Ada tempat usaha, ada karyawan, ada stok barang dan lainnya. Apa yang terjadi ketika toko sudah dibuka? Biaya mulai keluar. Buat sewa toko, bayar karyawan, bayar listrik dll. Sedangkan penjualan tidak selancar yang dibayangkan. Akhirnya besar pasak daripada tiang. Usaha yang dimulai seperti ini biasanya tidak akan berhasil melewati tahun pertamanya karena keburu bangkrut. I know because I’ve been there before… hehehe…

Saya belajar bahwa semua perlu proses. Saya pernah ada di perusahaan keluarga. Sang kakak membangun perusahaan dari nol. Lalu dia mengangkat adik2nya menjadi manager di perusahaan itu. Ada beberapa yang belum pernah bekerja sebelumnya di tempat lain. Ibarat kata, baru lulus langsung punya anak buah. Yang terjadi kemudian adalah kepemimpinan yang immature. Karena ngga pernah tahu rasanya jadi karyawan, akhirnya semau -maunya memperlakukan karyawan. Bad example, jangan ditiru.

Jadi kalau kita sudah menanam, mulailah memelihara tanamannya. Kalau perlu, beli buku dan belajar cara menanam yang baik. Atau beguru pada orang yang lebih ahli. Mudah-mudahan dengan begitu tanamannya akan tumbuh sesuai dengan harapan kita. Baru kita bisa lakukan tahap terakhir yaitu memanen hasil.

Oke, selamat berubah.

2 comments

  1. Tulisannya bagus, ringan tapi berisi. Feeling banget hehehehe

    1. Eh ibu Lilis, nemu aja nih si ibu 🙂 Makasih udah berkunjung. F banget ya? Hehehe… masih belajar nulis bu. Perlu banyak masukan.

Leave a Reply

Your email address will not be published.