Kebahagiaan anak-anak

Tiga anak SD itu bermain dengan riang gembira di halaman sekolah. Usia mereka kurang lebih 10 tahunan. Mungkin masih duduk di kelas 3 atau 4. Salah seorang diantara mereka mendirikan sebuah kaleng dan menaruh satu kaleng lagi di atasnya. Saat ia menendang kaleng-kaleng itu, permainan pun dimulai.

Seorang anak menjadi penjaganya. Tubuhnya agak chubby. Dia mendirikan kembali kaleng-kaleng tadi dan mengejar anak yang lain sambil berusaha menjaga kaleng-kalengnya. Jika ada anak yang menyusup mendekat ke kalengnya, si anak penjaga akan segera menghalaunya. Ya, kaleng itu adalah nyawa si penjaga. Bila si penyusup berhasil menendang kaleng yang ia jaga, maka ia pun kalah.

Saya menyaksikan pemandangan ini sambil menunggu anak saya keluar dari kelasnya. Pemandangan yang biasa sebetulnya. Tetapi ada satu hal yang menarik perhatian saya. Ketika diperhatikan, ternyata tangan kanan si anak chubby cacat! Telapak tangannya membentuk kuncup, seperti kelopak bunga yang belum mekar. Pergelangan tangannya pun menekuk ke arah dalam. Walaupun demikian, anak ini dengan sigap dapat mengambil bola dan melemparnya ke arah para penyusup. Ia ternyata tetap dapat melakukan aktifitas seperti anak lain yang normal dengan menggunakan tangan kirinya.

Ah, betapa anak-anak begitu polos. Tidak ada terbersit sedikitpun diskriminasi dari teman-temannya akibat ‘perbedaan’ yang dimiliki si chubby. Di usia mereka saat ini, belum ada standar tentang teman yang ‘ideal’. Belum ada kelompok-kelompok kecil yang sifatnya lebih eksklusif. Si pintar masih bergaul dengan semua orang. Si cantik, yang tentunya di usia ini belum terlalu kelihatan cantiknya, juga masih mau bergaul dengan semua orang. Si populer pun tidak pilih-pilih teman. Semua masih begitu polos dan murni.

Inilah kebahagiaan sejati yang tidak mereka sadari. Sesuatu yang ketika usia mereka bertambah, akan semakin memudar. Sesuatu yang akan sulit mereka dapati lagi saat mereka beranjak dewasa, saat mereka mulai mencari jati dirinya, saat mereka mulai membuat standar ideal tentang siapa yang bisa menjadi teman dan siapa yang tidak. Masanya akan tiba dimana dunia mereka tidak lagi terdiri dari hitam dan putih. Ketika tempaan pengalaman hidup semakin bertambah. Entah itu pengalaman yang menyenangkan atau justru sebaliknya.

Saya menarik nafas panjang. This is life. This is how it has to be. Hal terbaik yang bisa saya lakukan adalah terus berada di sisi anak-anak saya ketika masa-masa itu tiba. Menjadi ayah sekaligus sahabat. Menjadi panutan, juga menjadi teman bicara. I know this is not going to be easy. Tapi disinilah kami akan menoreh sejarah. Dan momen ini tidak akan saya lewatkan karena ia tidak akan pernah kembali.

Leave a Reply

Your email address will not be published.