Mengajar dengan santun

Anak saya yang masih duduk di kelas 4 SD pulang dari sekolah dengan wajah sumringah. Hari itu dia menghadapi beberapa ujian sekolah. Dengan polosnya dia melaporkan hasil ujiannya tadi.

“Ayah tahu ngga kakak dapat berapa untuk ujian Fisika tadi?” tanyanya. Saya menggeleng tanda tidak tahu. Lalu dia meneruskan, “Kakak dapat nilai tujuh ayah”.

Saya mengernyitkan dahi. “Nilai kalau benar semua berapa?” tanya saya menyelidik.

“Seratus Yah”, jawab sang kakak ringan. #tepokjidat

Saya lupa penyebabnya, tetapi memang seingat saya sang kakak tidak sempat belajar untuk mata pelajaran Fisika. So, hasil itu sebetulnya tidak terlalu mengejutkan.

Kalau sudah begini, biasanya kami harus berusaha keras untuk membuat suasana hati kakak supaya tidak down. Belajar dari pengalaman sebelum-sebelumnya, jika anak-anak mengalami hari yang buruk, sedapat mungkin kita ada dan memberi mereka semangat untuk tidak patah arang. Kami percaya, inilah masa krusial bagi mereka yang akan mempengaruhi kualitas tumbuh kembang mereka ke depannya. Betapa banyak anak-anak yang tidak bisa mencurahkan isi hati mereka kepada orang tuanya. Entah karena kesibukan orang tua mereka, atau, yang paling sering terjadi, karena orang tua cenderung langsung memberi judgement atau penilaian terhadap hal yang sedang diceritakan oleh si anak. Kalau ini terjadi, ke depannya si anak akan merasa malas untuk bercerita karena sudah bisa membayangkan ocehan orang tua ketika mendengar cerita mereka.

Seperti cerita kakak hari itu. Betapa mudahnya bagi kita sebagai orang kita untuk langsung memberi judgement seperti “Kakak sih ngga belajar”, atau “Masa begitu aja ngga bisa”, dan omongan-omongan lain yang sejenis. Alih-alih mengucapkan hal seperti itu, kami mencoba menggunakan kalimat alternatif seperti:

“Lain kali belajar ya kak”, atau “Ngga apa-apa, ujian besok kakak pasti bisa lebih baik”

Kalimat itu sebetulnya sama maknanya. Bedanya, kalimat judgement biasanya langsung menohok dan menuduh. Seolah-olah mengacungkan telunjuk di depan si anak dan bilang “Kamu yang salah”.
Kalimat alternatif tidak langsung menuduh bahwa si anak salah, tetapi memberikan logika bahwa nilai yang jelek didapat karena tidak belajar. Kemudian ditambah kalimat-kalimat yang menumbuhkan kepercayaan diri si anak agar tidak patah semangat untuk belajar atau untuk menghadapi ujian.

Percaya deh. Saat seseorang berbuat kesalahan, tidak ada seorang pun yang senang ditunjukkan kesalahannya langsung di depan mukanya. Ditambah pula dengan bahasa yang kasar. Pergunakanlah selalu adab yang baik. Apalagi jika memang harus menegur seseorang di depan orang banyak. Ini berlaku baik bagi orang dewasa maupun anak-anak. Ini pula yang dicontohkan oleh Rasulullah dan generasi para sahabat dulu.

Pernah dulu Muawiyah bin Hakam As Sulami ikut sholat berjamaah. Kemudian ia mendengar orang bersin. Muawiyah pun mengucapkan Yarhamukallah (doa bagi orang yang bersin – artinya ‘semoga Allah merahmatimu’). Saat itu orang-orang langsung menoleh ke arahnya. Selesai sholat, Rasulullah tidak mencela atau menyalahkan Muawiyah. Rasulullah hanya berkata, “Sesungguhnya shalat ini tidak pantas di dalamnya terdapat percakapan manusia. Sesungguhnya shalat itu isinya adalah tasbih, takbir, dan bacaan Alquran” (HR. Muslim). Muawiyah pun berkata, “Sungguh saya belum pernah melihat seorang pengajar yang cara mengajarnya lebih baik dari beliau baik sebelum beliau ada , maupun sesudah beliau ada”.

Maka contoh inilah yang sedang kami coba ikuti. Awalnya pasti sulit bila tidak terbiasa. Tetapi segala sesuatunya memang musti dibiasakan demi tujuan yang ingin diraih.

So, terlepas dengan siapa kita berhadapan, kita perlu mengingat selalu untuk tidak langsung men-judge lawan bicara kita. Lebih banyaklah mendengar. Maka niscaya kita akan menjadi lawan bicara yang jauh lebih menyenangkan. Yuk…

Leave a Reply

Your email address will not be published.