Mindset karyawan vs mindset pengusaha

Menjadi wirausahawan atau pengusaha adalah sebuah pilihan karir kehidupan. Selain pilihan ini, ada banyak pilihan karir lain yang bisa dipilih. Apakah menjadi PNS, karyawan kantoran, teknisi, guru, polisi atau yang lainnya. Bahkan seiring dengan perkembangan jaman, banyak bermunculan profesi baru yang dulu belum pernah ada. Misalnya ghost writer… Apaan tuh? Terjemahannya mungkin penulis hantu, tapi istilah yang lebih cocok adalah penulis bayangan. Dia yang membuatkan tulisan bagi orang-orang yang membayar jasanya. Biasanya di hire untuk mengisi content website, socmed, atau bahkan untuk membuat buku.

Jaman dulu, hanya orang yang kepepet yang menjadi pengusaha. Kalau tidak salah, saya pernah baca sebuah biografi seorang pengusaha tionghoa. Sewaktu ditanya kenapa dia jadi pengusaha, beliau menjawab “karena saya tidak bisa jadi pegawai negeri”. Tentunya bukan karena faktor IQ yang membuatnya tidak bisa menjadi PNS, tetapi lebih karena sistem perekrutan PNS yang ‘sengaja’ membuat warga keturunan tidak bisa mendaftar. Itulah yang akhirnya mengantarkan beliau menjadi seorang entrepreneur.

Nah, jaman sekarang saya melihat trendnya justru terbalik. Kalau dulu yang jadi pengusaha adalah orang-orang kepepet, sekarang banyak juga orang-orang ‘mapan’ yang banting setir jadi pengusaha. Bukan hal baru lagi kalau ada orang bercerita “wah, orang itu sekarang jadi pengusaha. Padahal dulu dia manager (atau posisi di atasnya) yang sudah mapan”.

Well, apapun alasannya, ketika seseorang menginjak dunia wirausaha, kenyataan dunia persilatan kewirausahaan akan segera mendidiknya dengan keras. Boleh aja dulu dia manager. Tetapi saat berada di dunia wirausaha, dia adalah seorang pengusaha. Seorang pengusaha diantara jutaan pengusaha lainnya. Dalam sebuah workshop, seorang pembicara mengatakan begini “Dulu saya manager dan tentunya saya merasa pintar dan berpikir bahwa saya bisa membangun bisnis saya sendiri. Ketika saya resign, baru saya sadar kalau saya tidak sepintar itu”.

Seorang rekan saya juga punya pengalaman yang lain. Saat dia masih menjadi karyawan, dia dipercaya memegang sebuah cabang lembaga bahasa. Ternyata track recordnya dalam mendatangkan siswa cukup bagus, sehingga akhirnya timbul pemikiran bahwa kalau dia membuka lembaga bahasa sendiri, maka dia akan mampu mendatangkan traffic siswa yang sama. Setelah dia resign dan memulai lembaga bahasanya sendiri, baru dia sadari kalau rencananya dulu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Akhirnya dia banting setir dan sekarang justru jadi juragan bubur bayi yang sudah punya ratusan franchise.

Kenapa seorang karyawan yang pintar, ketika memutuskan untuk menjadi seorang pengusaha tiba-tiba menjadi tidak pintar? Tidak lain karena dunia karyawan dan dunia pengusaha itu berbeda. Ibarat ikan dan burung, yang satu hidup di air sedangkan yang satu lagi menghabiskan banyak waktunya di udara.

Seorang karyawan bertindak secara reaktif. Perusahaan menerapkan target, KPI, job description dan lainnya. Tugasnya seorang karyawan adalah bertindak sesuai dengan tuntunan yang sudah diterapkan tersebut. Maka ketika ia melakukan sebuah perbuatan, katakanlah menghancurkan batu, dia melakukannya karena itu ada dalam job desc-nya. Dia disuruh untuk melakukan itu.

Seorang pengusaha bertindak secara aktif. Walaupun ia melakukan hal yang sama dengan seorang karyawan tetapi mindsetnya berbeda. Dia mungkin juga menghancurkan batu, tetapi dia melakukannya karena batu bisa dijual dan itu mendatangkan uang. Dia ‘melakukan’ atas inisiatifnya sendiri, bukan ‘disuruh melakukan’.

Inilah perbedaan dasar yang akan segera terasa ketika seorang karyawan masuk ke dunia wirausaha. Bila karyawan ini tidak segera merubah mindsetnya dari ‘disuruh melakukan’ menjadi ‘melakukan’, maka saat-saat kehancuran bisnis yang dijalankannya tinggal menunggu waktu. Bila ia masih menunggu peluang, bukannya menciptakan peluang, maka kemungkinan besar mindsetnya masih mindset karyawan.

Jadi mindset yang manakah anda?

Leave a Reply

Your email address will not be published.