Saat berbicara soal motivasi wirausaha, saya seringkali menggunakan analogi cangkir dan air hujan. Ini karena analogi ini cukup simpel dan mudah dimengerti. Cangkir adalah perumpamaan pekerjaan kita saat ini. Sedangkan air hujan adalah perumpamaan sumber rezeki yang mengalir.
Nah, sehubungan dengan analogi ini, saya mau cerita sedikit sebuah situasi yang saya alami di tahun 2013. Kalau tidak salah, waktu itu adalah hari kedua (atau terakhir? saya lupa) Pesta Wirausaha Bulan Februari tahun 2013 di Kemayoran Jakarta. Pembicara saat itu di stage utama adalah ustad Yusuf Mansur. Beliau bercerita tentang kondisi-kondisi sulit yang pernah beliau alami dulu. Betapa dia tidak punya uang untuk menebus anaknya selesai persalinan. Betapa akhirnya beliau berserah diri kepada Allah, dan dengan ijinNya pula akhirnya biaya persalinan bisa dilunasi. Beliau pun bercerita tentang seseorang yang terus menerus berdoa agar bisa berangkat ke tanah suci, padahal dia miskin. Dia terus berdoa, bersama dengan beberapa anak yatim. Suatu saat ada seseorang datang saat dia sedang berdoa. Dia pun seperti biasa berdoa agar dapat berangkat ke tanah suci. Lalu dia bertanya pada orang asing ini, “Kamu mau berangkat juga? Saya masukkan kamu ke doa saya”. Dan ternyata, orang asing ini adalah seorang kaya yang memang sedang niat untuk memberangkatkan orang ke tanah suci. Akhirnya doa orang ini dikabulkan oleh Allah, dan dia beserta dengan anak-anak yatim yang ikut berdoa dengannya dapat berangkat hanya dengan kekuatan doa.
Di akhir materinya, beliau bertanya kepada para hadirin, “Siapa di sini yang mau uang 1 Milyar bulan depan?”. Terus, beliau langsung meralat, “ah, satu milyar terlalu kecil, kita ganti deh ye, jadi 10 Milyar”, sahut Ustad YM dengan dengung suaranya yang khas. “Syaratnya gampang. Lakukan sholat wajib dan sunnah secara teratur selama satu bulan, tidak lupa untuk berdoa. Nah, doanya juga harus spesifik. Contohnya, Ya Allah, berikanlah kepada hambaMu ini uang sebesar 10 Milyar, pada akhir bulan Maret 2013.” Dan beliaupun menutup sesinya dengan memimpin berdoa bersama.
Sepulangnya dari acara tersebut, ucapan sang ustad terus terngiang-ngiang dalam benak saya. Saya pun memutuskan untuk mencoba tips yang telah beliau sampaikan. Selama satu bulan, saya berusaha konsisten untuk melakukan sholat wajib dan sunnah, tidak lupa ditambah dengan doa. Memang harus diakui, berusaha untuk konsisten itu tidak mudah. Walhasil, setelah satu bulan, ada juga saat-saat dimana saya bolong melakukan sholat yang sunnah.
Akhirnya saat yang ditunggu pun tiba. Ini sudah akhir bulan Maret. Saya pun bertanya-tanya, darimana gerangan doa saya akan terwujud. Kalau dilihat dari kondisi saya yang waktu itu masih karyawan, terwujudnya doa 10 milyar terasa sangat mustahil. Lha wong, nasib gaji 10 koma… tanggal 10 udah koma… hehehe.
Lalu suatu hari atasan saya memanggil saya ke kantornya. Di sana, ia bercerita tentang kondisi keuangan perusahaan dan bagaimana dalam kondisi ini perusahaan akan membagikan BONUS ke segelintir orang saja, termasuk saya. Subhanallah, saat itu saya betul-betul terkesiap. Ternyata inilah jawaban atas doa saya.
Tentu saja saya merasakan kegembiraan yang luar biasa. Ternyata memang Allah mengabulkan doa hambanya yang yakin dan konsisten. Maka, ketika tanggal gajian tiba, dengan penuh harap-harap cemas saya menuju ke ATM dan mencek saldo saya. Jrennngg… apakah ada 10 milyar di ATM saya? tentu saja… tidak. Jumlah yang ada di rekening memang cukup besar, kurang lebih 1,5 kali gaji. Tetapi, itu jauh dari angka 10 milyar. Saya mencoba untuk tetap bersyukur, karena bagaimanapun inilah rezeki yang telah Allah tetapkan untuk saya. Bagaimanapun, saya masih lebih beruntung dibandingkan rekan-rekan yang lain yang tidak mendapatkan bonus tahun itu.
Dari peristiwa ini, saya mengambil hikmahnya. Ibarat cangkir dan air hujan. Saya berdoa selama sebulan memohon datangnya hujan. Secara konsisten, berusaha untuk terus menerus berikhtiar dan berdoa tanpa terputus. Dan ternyata, Allah mengabulkan doa tersebut dan memberikan hujan pada saya sesuai dengan doa yang saya panjatkan. Di tengah kegembiraan, saya menyodorkan sebuah wadah untuk menampung hujan yang lebat tersebut. Dan wadah tersebut adalah… sebuah cangkir.
Sahabatku sekalian. Berapalah daya tampung sebuah cangkir. Bagaimanapun semangatnya saya untuk mengumpulkan butiran-butiran air hujan, ketika cangkir itu penuh tidak ada lagi air yang bisa dimasukkan ke dalamnya. Maka saat itu pun saya tersadar, ternyata selama ini saya hanya membawa-bawa sebuah cangkir untuk menampung rezeki yang melimpah ruah. Ah… betapa meruginya.
Sahabatku sekalian. Jika kita punya mimpi besar, visi yang jauh ke depan, ambisi yang tinggi… janganlah lupa untuk menengok wadah yang kita punya. Apakah wadah itu masih berupa cangkir? Jika masih, maka bertindaklah. Gantilah cangkir tersebut dengan gelas yang lebih besar. Lalu lihatlah kembali, apakah gelas ini sudah cukup untuk menampung mimpi besar kita? Jika belum, maka bertindaklah. Gantilah gelas itu dengan sebuah ember. Lalu lihatlah kembali, apakah ember ini sudah cukup untuk menampung mimpi besar kita? Jika belum maka bertindaklah. Dan begitu seterusnya, hingga suatu saat, hanya laut yang bisa mengalahkan wadah yang kita miliki.
Wadah atau cangkir yang kita punya tidak lain adalah kompetensi diri sendiri. Kemampuan atau skill yang kita miliki. Jika skill kita belum cukup untuk mencapai cita-cita kita, maka tingkatkanlah skill tersebut hingga akhirnya ia dapat menunjang kita untuk mencapai hal yang kita harapkan. Wadah juga bisa berarti pekerjaan yang kita miliki saat ini. Hitung-hitunglah. Jika misalkan kita berkeinginan untuk membeli sebuah rumah. Dengan uang yang bisa kita sisihkan tiap bulan, berapa lama keinginan itu akan terwujud. Jika perlu, gantilah wadah anda dengan wadah yang lebih besar. Maka niscaya, anda akan mendapati diri anda setapak lebih dekat dengan mimpi anda.
Jadi, sudahkan anda tengok cangkir anda hari ini?
Recent Comments